SASAKALA CIJULANG DAN PANTAI BATUHIU
SASAKALA CIJULANG DAN PANTAI BATUHIU
Dahulu kala, di wilayah kekuasaan kerajaan
Banyumas hiduplah keluarga bahagia pasangan Aki
Gede dan Nini Gede. Pasangan keluarga tersebut
memiliki dua orang anak, yang sulung seorang laki-laki
bernama Sang Lawangjagang, sedangkan yang bungsu
seorang putri yang sangat cantik jelita. Banyak raja dan
ksatria yang melamarnya, namun selalu saja ditolak
oleh sang putri.
Kanjeng Sinuhun, raja kerajaan Banyumas,
termasuk salah seorang yang menyukai sang putri.
Maka Kanjeng Sinuhun pun segera mengajukan
lamaran pada Aki Gede dan Nini Gede. Tetapi seperti
sebelumnya, lamaran itu pun ditolak oleh Aki Gede,
karena merasa anaknya tidak pantas mendapatkan
seorang raja. Aki Gede merasa bahwa putrinya
hanyalah keturunan rakyat biasa dan tidak mungkin
menjadi permaisuri seorang raja.
Tentu saja penolakan dari Aki Gede tersebut
membuat sakit hati Kanjeng Sinuhun. Lalu ia pun
memerintahkan kepada patihnya untuk mengusir Aki
Gede beserta seluruh keluarganya dari wilayah
kerajaan Banyumas.
Berangkatlah Aki Gede, Nini Gede, putri, dan
seluruh kerabatnya meninggalkan wilayah kerajaan
Banyumas. Rombongan itu pergi ke arah Barat. Setelah
menempuh perjalanan sehari semalam, rombongan Aki
Gede pun sampailah ke tepi sungai di batas kerajaan.
Dari sana, rombongan hanjat (menyeberangi) sungai.
Tempat itulah yang kelak dikenal dengan nama
Hanjatan Cimanganti. Setelah itu, perjalanan pun
dilanjutkan menuju ke arah selatan.
Maka tibalah rombongan Aki Gede ke sebuah
tempat yang teduh dan terdapat mata air. Di sana,
mereka segera ngababakan (membuka lahan baru)
untuk membangun perkampungan. Mulanya hanya
dibangun satu rumah, terus bertambah menjadi lima
rumah, kemudian bertambah pula dengan dibangunnya
sebuah surau.
Lama kelamaan daerah itu pun semakin banyak
dikunjungi pendatang. Bahkan banyak orang yang
berguru ilmu kanuragan ke Aki Gede. Rumah Aki Gede
pun kemudian direnovasi dan dijadikan sebuah
padepokan yang diberi nama Padepokan Karasanbaya.
Dengan perkembangan padepokan yang sangat
pesat, Aki Gede pun mulai merasa gundah. Khawatir
perkampungan tersebut diketahui oleh Kanjeng Sunan.
Lalu ia berniat membangun padepokan di tempat lain.
Sebagai penggantinya, Aki Gede menyuruh anaknya
yang sulung untuk mengurus Padepokan Karasanbaya.
Oleh anaknya, Padepokan itu diganti namanya menjadi
Kawasan.
Sementara Aki Gede, Nini Gede, putrinya, dan
rombongan keluarga lainnya terus melanjutkan
pengembaraan ke arah barat. Lalu ke arah selatan dan
ngaso (beristirahat) di suatu tempat yang juga terdapat
mata air yang banyak pohon kasonya. Kelak tempat ini
dikenal dengan nama Cikaso, yang berarti tempat
beristirahat yang terdapat sumber air dekat pohon kaso.
Di tempat itu, Aki Gede pun segera membangun
sebuah padepokan. Lalu padepokan itu ia percayakan
kepada salah satu saudaranya yang bernama Mangun
Naha Mana Manggala. Setelah itu, Aki Gede dan Nini
Gede pun melanjutkan pengembaraannya kembali.
Beberapa hari kemudian, rombongan Aki Gede
pun sampailah pada sebuah daerah yang kelak
bernama Bojonglekor. Di sana Aki Gede membangun
kembali sebuah padepokan dan kepengurusannya
dipercayakan kepada salah seorang saudaranya yang
bernama Sang Prabu Mangun Ciker.
Kemudian, Aki Gede pun melanjutkan kembali
pengembaraannya. Kali ini Aki Gede semakin ke
selatan. Kemudian sampailah ke daerah Bubulak dan
Karangsimpang, di sana Aki Gede pun membangun
sebuah padepokan. Di karangsimpang ia percayakan
lagi kepengurusan padepokannya pada saudaranya
yang lain.
Kini Aki Gede pergi ke arah utara dan sampailah
di sebuah daerah. Di sana Aki Gede segera
membangun padepokan dilengkapi dengan sebuah
sunge (sumur buatan), karena di daerah tersebut tidak
terdapat mata air. Kelak tempat ini dikenal dengan
nama kampung Binangun.
Selama pengembaraannya, Aki Gede, Nini Gede,
dan rombongan selalu berhenti di sebuah daerah dan
dilanjutkan dengan ngababakan (membuka lahan baru).
Setelah membangun padepokan di Binangun, Aki Gede
pun kemudian mencari daerah baru sebagai tempat
bermukim.
Suatu ketika, sampailah Aki Gede ke daerah yang
bernama Nagarawati. Di sana ia tidak membangun
padepokan, karena sudah padat penduduknya. Aki
Gede pun akhirnya kembali lagi ke Binangun. Namun
tidak berhenti di situ, Aki Gede kemudian mengalihkan
perjalanannya ke sebelah Barat. Berturut-turut Aki
Gede membangun kampung yang sekarang dikenal
dengan nama Bojongmalang, Sarakan, Cikadu,
Cikawao, Cikagenah, Cipatahunan dan Gurago.
Di Gurago, Aki Gede tinggal cukup lama. Bahkan
Aki Gede sempat mengangkat seorang amil (penghulu)
dan kepala kampung. Setelah itu, Aki Gede pun
melanjutkan kembali perjalananya. Sekarang ia
mengarah kembali ke selatan. Tujuannya ialah ke
pesisir selatan pulau Jawa. Maka sampailah Aki Gede
ke daerah yang sekarang dikenal dengan nama
Cigugur. Lama ia tinggal di daerah tersebut.
Beberapa taun kemudian, Aki Gede dipanggil oleh
Dalem Tamela, Raja Sukapura yang kekuasaannya
meliputi daerah Cigugur. Aki Gede pun menemui Dalem
Tamela di keratonnya yang sekarang dikenal dengan
nama Sukaraja, di wilayah Tasikmalaya sebelah
selatan. Ternyata Dalem Tamela berniat untuk
mempersunting anaknya Aki Gede yang perempuan.
Lamaran tersebut sempat tujuh kali ditolak oleh
Aki Gede. Alasannya karena sang putri telah menikah
dengan seorang ksatria bernama Sembah Ragasang.
Namun karena memaksa, Aki Gede pun akhirnya
menyetujui permintaan Dalem Tamela dengan sebuah
syarat: Dalem Tamela harus memberi mantan
menantunya suatu wilayah kekuasaan berikut
penduduknya yang berjumlah sembilan kuren (kepala
keluarga). Dalam memberikan wilayah itu pun tidak
dipilih oleh Dalem Tamela, namun harus sekehendak
menantunya.
Setelah sepakat, pergilah mantan menantu Aki
Gede, Sembah Ragasang, beserta sembilan kuren
rombongannya ke arah barat mengikuti jejak air
mengalir. Kemudian tibalah Sembah Ragasang di
kerajaan Panjalu. Di sana ia sempat bermukim,
sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya ke
wilayah Imbanagara. Di sana Sembah Ragasang
menemui saudara ibunya yang bernama Jeng Pati.
Menurut petunjuk dari Jeng Pati, Sembah
Ragasang harus mencari wilayah yang baik untuk
pemukiman ke sebelah Barat. Berdasarkan petunjuk
itulah, kemudian Sembah Ragasang beserta
rombongan tiba di hutan belantara. Karena merasa
tidak cocok, dari sana Sembah Ragasang melanjutkan
lagi perjalanannya ke arah pesisir selatan.
Tibalah Sembah Ragasang ke daerah yang
sekarang bernama Mandala, Karangnini dan Jajawai.
Di sanalah Sembah Ragasang menetap sampai akhir
hayatnya. Adapun Aki Gede yang telah lama menetap
di Cigugur, kemudian kembali melanjutkan
pengembaraannya. Hingga pada suatu ketika, tibalah di
atas bukit masih di wilayah pesisir Selatan.
Bermalamlah Aki Gede beserta rombongan
pengikutnya di bukit tersebut. Keesokan harinya,
sebelum pergi melanjutkan perjalanan, Aki Gede
menyuruh salah seorang pengikutnya yang bernama Ki
Braja Lintang untuk menangkap ikan di laut untuk
sarapan. Dengan cekatan, segera Ki Braja pergi ke
pantai untuk menangkap ikan.
Setelah beberapa jam, kemudian Ki Barja
membawa seekor ikan yang besar ke hadapan Aki
Gede. Ternyata ikan tersebut seekor hiu. Maka oleh Aki
Gede, Ki Barja pun disuruh untuk melepaskan kembali
ikan hiu tersebut ke laut lepas. Namun anehnya, ketika
dilepaskan oleh Ki Barja, ikan hiu itu tiba-tiba berubah
menjadi sebongkah batu besar berwarna hitam.
Semenjak itulah, daerah pesisir itu oleh Aki
Gede diberi nama pantai Batu Hiu. Dari bukit tempat
peristirahatan Aki Gede beserta rombongannya itulah,
sekarang kita dapat melihat secara jelas bongkahan
batu yang berasal dari perwujudan ikan hiu tersebut.
Setelah kejadian itu, Aki Gede segera saja
meninggalkan daerah tersebut. Bersama dengan
rombongannya, ia kemudian melanjutkan perjalanan ke
arah Barat dengan tetap menyusuri pesisir Selatan.
Hingga sampailah Aki Gede ke sebuah muara yang
menyatukan antara sungai Haurseah dengan laut Jawa
Selatan.
Di muara tersebut air sungai Haurseah nampak
tidak menyatu dengan air laut karena terbendung oleh
air laut itu sendiri, bahkan nampak airnya kembali
mengalir berbalik ke arah aliran sungai. Oleh penduduk
setempat, keadaan air seperti itu disebut cai mulang
(air yang alirannya berbalik arah).
Di dekat muara itulah, kemudian Aki Gede
kembali ngababakan dan menetap untuk selamanya.
Daerah itu pun kemudian oleh penduduk setempat
dinamakan Cimulang. Konon selain perubahan lafal
dari kata cai mulang, juga didasarkan pada kebiasaan
Aki Gede yang bolak-balik seperti cai mulang mencari
tempat untuk ngababakan.
Di daerah Cimulang terdapat burung Julang.
Seiring dengan perkembangan waktu, maka Cimulang
pun kemudian berubah namanya menjadi Cijulang
seperti yang dikenal sekarang. *** (Ciamis)
Posted on January 25, 2012, in Sasakala Nusantara, warisan Budaya and tagged Legenda, Sejarah, Sunda, Warisan Budaya. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0